Aku, Kamu, dan Persimpangan
Sejatinya aku mendeklarasikan diri bahwa namamu masih tersimpan rapi dalam benak.
Sebelumnya, aku tidak pernah tahu bahwa menyimpan sebuah rasa akan seberat ini. Malam demi malam yang silih berganti ini seolah bukan masalah besar. Kamu masih aku tengok untuk memuaskan rasa penasaran.
Memang, bukan pertama kalinya untukku mengagumi seseorang dalam diam. Tetapi, ada hal yang berbeda dalam dirimu sampai-sampai aku menulis ini.
Kamu bagaikan bintang di malam hari yang hanya bisa aku amati, tidak bisa aku genggam saking besar dan jauhnya.
Pun, layaknya rintik hujan pertama yang jatuh di bumi, tidak pernah bisa aku tangkap saking cepatnya ia terjatuh dan menyaru dengan tanah.
Aku masih mengharap dalam diam, namun tidak bisa mengatakannya dengan gamblang. Kalau lengah sedikit, aku pasti akan melancarkan aksi untuk mengisi ruang obrolan yang selalu kosong itu.
Tetapi dalam suatu masa, aku ingin melenyapkan hal yang tidak pernah pasti ini. Persimpangan demi persimpangan yang aku harapkan akan bersua denganmu nyatanya tidak pernah terjadi. Aku hanya berdiri di ruang hampa tanpa ada tempat untuk menetap lebih lama.
Maka pola selanjutnya, aku lelah menunggu deretan namamu di daftar penonton ceritaku. Tempo yang tidak pernah pasti ini membuatku merasa bahwa aku kesepian.
Tidak perlu kamu ketahui sebenarnya. Namun, adakalanya aku merasa bahwa hubungan antarmanusia ini melelahkan. Jika tidak pernah ada timbal balik, apalagi yang mesti aku lakukan?
Aku penat dengan semua yang tidak pernah pasti. Tetapi, aku juga tidak tahu bagaimana melenyapkanmu.
Menerima yang baru ketika tidak ada orang lain juga bukan jawaban. Alih-alih mengganti dan menerima, aku ingin memikirkan diriku terlebih dahulu.
Diriku, keselamatanku, dan cinta yang ada pada diriku.
Di lain waktu, aku ingin kamu tahu suatu hal yang aku perbuat.
Dalam doa aku selalu berharap pada sang maha kuasa untuk segala sesuatu yang berlaku demi kebaikan dirimu.
Hal-hal seperti memintamu pada sang maha kuasa tidak pernah aku lakukan. Aku tidak pernah berani untuk itu, seolah bukan hal yang patut aku minta.
Selanjutnya, aku hanya mengharapkan sebuah persimpangan.
Iya, persimpangan.
Persimpangan yang mempertemukannya aku dengan kamu, tidak perlu adanya rajutan takdir. Hanya bersua untuk memastikan apakah aku masih ada pengharapan padamu.
Dan ketika persimpangan lain hadir, aku hanya berharap bahwa aku sudah siap dengan segala pikiran dan tentangku.